Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan
Imajinasi

Homo Theatricus: Kota, Substensi, dan Imajinasi menjadi tema yang dipilih untuk merayakan
lima puluh tahun Festival Teater Jakarta (FTJ).

Secara keseluruhan tema ini mengandung pesan daya lenting FTJ yang kukuh bertahan meski digempur berbagai tantangan zaman. Kini, pada usia setengah abad, FTJ menjadi festival teater tertua di Indonesia dan Asia Tenggara. Lebih dari sekadar laboratorium kekaryaan, FTJ secara konsisten turut berkontribusi dalam sejarah estetika kota.

Jika Homo Sapiens bermakna makhluk berpikir dan Homo Erectus makhluk yang berdiri tegak, maka Homo Theatricus adalah makhluk yang secara sadar atau tidak melakukan aksi teatrikal dalam kehidupan sehari-hari. Tesis ini diambil dari buku kompilasi artikel teater karya Radhar Panca Dahana yang berjudul Homo Theatricus. Dalam buku tersebut Radhar menyatakan, teatrikalitas menjadi watak alami manusia di luar kodratnya sebagai insan yang gemar berpolitik, bermain, dan yang estetik. Dari segi etimologi, theatrecus atau theatralis adalah bentuk ajektif dari kata theatrum yang bermakna segala hal yang terkait dengan teater.

Penggunaan kata homo telah dicetuskan oleh berbagai pemikir cum filsuf untuk menyebut ragam karakteristik khas, ciri esensial, dan kodrat manusia. Johan Huizinga filsuf asal Belanda misalnya, menerbitkan buku Homo Ludens (1938) yang bermakna manusia sebagai makhluk yang senantiasa bermain dan terlibat dalam permainan. Menurutnya, bermain-main menjadi lelaku manusia untuk menjiwai kebudayaan. Senada dengan Johan Huizinga, Gabriel Marcel menerbitkan buku Homo Viator: Introduction to the Metaphysics of Hope (1945) dalam pernyataannya, ia merujuk manusia sebagai makhluk penziarah yang selalu mencari makna atas jati diri, asal usul, dan tujuan hidup.

Selain argumen dua pemikir tersebut, kata homo lainnya seperti Homo Faber (makhluk pekerja), Homo Mensura (makhluk penilai), Homo Recentis (makhluk berpeka rasa), Homo Volens (makhluk inovatif), Homo Concord (makhluk adaptif cum transformatif), Homo Creator (makhluk pencipta), Homo Socius (makhluk sosial), Homo Economicus (makhluk ekonomi), Homo Religius (makhluk pembelajar), dan Homo Mechanicus (makhluk berlingkungan) meruah sepanjang khazanah pemikiran manusia.

Dalam konteks perhelatan FTJ, makna definisi Homo Theatricus ditegaskan sebagai manusia panggung Jakarta. Manusia merujuk pada para pelaku teater yang setia menggunakan daya karsa dan ciptanya untuk menjaga kelangsungan FTJ selama berpuluh tahun lamanya. Dedikasi para seniman itulah yang membuat FTJ menjadi rumah bersama yang hangat untuk disinggahi dari generasi ke generasi. Namun kesetiaan yang organik itu tentu tak mudah dipertahankan, mengingat Jakarta sebagai kota urban tak lepas dari logika industrial. Pada titik ini, istilah Homo Theatricus pula mencerminkan daya hidup manusia panggung di Jakarta yang memilih untuk tetap berpentas meski dihadapkan pada beragam kondisi sulit.

Jargon kota merujuk pada Jakarta sebagai ibu kota negara (setidaknya hingga 16 Agustus 2024), yang memiliki watak yang kompetitif dan transaksional dalam memaknai relasi kemanusiaan. Pembangunan dan perilaku konsumtif makin memompa Jakarta menjadi maximum city atau kota dengan kapasitas yang tak lagi sanggup menampung perkembangan. Hal itulah yang acapkali membuat konflik horizontal tak terelakkan.

Sengkarut persoalan urban dari penggusuran tanah, lemahnya sistem transportasi, intrik taktik politik, korupsi hingga fanatisme agama membuat tensi kota ini terus memanas. Dus, di tengah kondisi serba tak ideal itu, manusia panggung Jakarta masih mampu bernegosiasi, merancang strategi pentas, dan memelihara gairah estetika.

Sementara subsistensi bertalian dengan situasi kota yang demikian keras justru menjadi medan tangguh yang menguji stamina dan ketahanan manusia panggung Jakarta. Antropolog James C. Sott dalam buku Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Dalam buku itu, ia menjelaskan kondisi petani di Asia Tenggara yang meski lemah secara ekonomi, namun bisa bertahan bahkan mampu menjaga martabat diri dan profesinya. Keterbatasan menjadi api yang membakar semangat mereka untuk membuat perlawanan atas ketidakadilan. Di dalam malam-malam yang senyap, mereka bersecepat
menghimpun gerakan.

Kata subsistensi dalam konteks FTJ disematkan untuk mendeskripsikan betapa manusia panggung Jakarta adalah manusia tangguh yang mampu menghadapi berbagai kesulitan di kota besar. Mereka sadar akan kewajiban manusia sebagai pencipta harus tetap berjalan meski situasi amat terjal. Bagi mereka teater tak sekadar hal artistik, pula menjadi medium yang mampu menampung gagasan reflektif atas kehidupan urban Jakarta yang kian banal. 

Sebagai manusia dan pelaku panggung, teater diperlukan untuk mengontrol kota dan menyeimbangkan kehidupan kota yang serba material semata. Dalam penghayatan tertentu, teater menjadi laku imaterial, sebuah aktivitas rohani. Subsistensi dapat dimaknai juga sebagai daya lenting atau kemampuan mental dan emosional untuk bertahan dalam krisis. Kemampuan ini membuat manusia panggung Jakarta terampil dalam menyesuaikan diri dengan keadaan dan penuh stamina hingga kondisi kembali normal sebelum kondisi pulih. Hal ini terbukti saat pandemi Covid-19 mewabah, manusia panggung Jakarta tak putus harap untuk menjaga spiritualitas panggungnya, di tengah kondisi genting, mereka tetap tak membiarkan panggung kosong. Kreasi yang berpadu teknologi melahirkan karya pertunjukan virtual. Sikap adaptif juga mereka tunjukan saat FTJ tak terselenggara di Taman Ismail Marzuki semasa renovasi. Kemampuan menyesuaikan diri dengan beragam situasi ini tak mungkin terjadi tanpa kecerdasan psikologis manusia teater Jakarta pun
para panita FTJ yang sama-sama militan.

Imajinasi – kata terakhir dalam jargon FTJ tahun ini melambangkan daya kreatif manusia teater Jakarta yang tak pernah surut di panggung teater. Selama 5 dekade FTJ berlangsung, imajinasi yang berkait kelindan dengan estetika itu tak pernah lekang membawa mereka untuk berupaya keluar dari gagasan-gagasan klise. Mereka terus terpantik dan memantik bentuk pemanggungan yang baru.

Sebagai laboratorium, tentu ada yang berhasil dan tidak. Tapi niatan untuk tetap berupaya mengolah dan merespons isu-isu sosial kiwari atau menafsir ulang naskah-naskah babon menjadi lebih kontekstual terus bergelora. Pun imajinasi menjadi kata kunci untuk melakukan adaptasi.
Aktivitas panggung yang penuh imaji diinsyafi bukan sebagai aktivitas pelarian, melainkan cara menepi diri tuk menyegarkan kembali seluruh panca Indera. Hasilnya tentu berkontribusi bagi equilibrium kota Kata imajinasi juga merujuk pada prestasi yang diraih oleh manusia panggung Jakarta. Dengan bekal pengalaman personal maupun kolektif di FTJ mereka sukses merambah industri kreatif dan pengajar seni.

Naskah lakon yang dipentaskan di panggung FTJ juga semakin mempopulerkan nama penulisnya hingga dikenal luas ke pelosok kampung Jakarta, sebut saja Arifin C. Noer, Ikranegara, Danarto, N. Riantiarno, Akhudiat, Motinggo Busye, Utuy Tatang Sontani, dan lainnya. Para dramawan tersebut menjadi bagian dari pencarian artistik manusia panggung Jakarta atas munculnya teater Indonesia yang tak menduplikasi secara mentah naskah lakon teater barat.

Dengan memilih tema Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi, perayaan lima puluh tahun FTJ ini menjadi peringatan dan penghormatan atas kontribusi manusia panggung Jakarta.
Sebuah sumbangsih untuk kehidupan kesenian yang sehat dan bernalar kritis.