Atraksi Teatrikal

Mengembalikan yang ‘Pergi’ Dari Tanah Ibu

Ernst Hans Josef Gombrich, seorang profesor yang ahli di bidang Seni Rupa dan Sejarah Purbakala, membuat pernyataan dalam salah satu karyanya yang cukup terkenal berjudul, “Sejarah dunia untuk pembaca muda.” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh Marjin Kiri, Ia menulis; “Kita ini masing-masing tidak lebih dari sekadar setetes renik di atas gelombang waktu yang bergerak di bawah sana menuju masa depan yang tak tentu dan berkabut.”

Pernyataan ini hadir persis ketika refleksinya pada perang dunia II menewaskan habis sebagian besar orang-orang yang tak mengerti apa yang sedang terjadi, dan apa yang mesti mereka lakukan. Jauh lebih mencekam adalah ketika perang salib yang digambarkan secara menyedihkan oleh Gombrich, “Saking menyakitkannya, orang-orang sampai tak mengerti siapa yang sesungguhnya menjadi lawan mereka.”

Sebuah periodisasi yang digambarkan oleh Ernst Hans Josef Gombrich, tidak terlepas dari dampak yang dihasilkan bagi negara-negara terjajah seperti Indonesia. Ada masa dimana mereka yang kita sebut sebagai “Pahlawan” di kemudian hari, mengangkat senjata dan melakukan perlawanan, hingga ujung dari berbagai peristiwa mengenaskan seperti yang terdengar di telinga kita, dibaca oleh mata kita dalam berbagai catatan sejarah, sebetulnya hanya menggambarkan satu hal, “Mereka telah pergi dari tanah ibu.”

Perjuangkan menghidupkan mereka kembali, selain hanya mengenang mereka sebagai pahlawan, kita lakukan melalui berbagai hal. Salah satunya melalui seni, lebih khusus melalui teater. Dalam hal ini, pada peristiwa penting, “Mengembalikan yang ‘Pergi’ dari tanah ibu”, panggung Teater dalam bingkai atraksi teatrikal 2022 di museum sejarah jakarta, berusaha menjumpai peristiwa-peristiwa sejarah itu, melalui para komunitas teater di jakarta.

Program atraksi teatrikal merupakan program Komite Teater-Dewan Kesenian Jakarta periode 2020-2023. Program Atraksi Teatrikal ini sendiri baru pertama kali diselenggarakan dan merupakan hasil refleksi bahwa, tema Kesejarahan penting bersentuhan dengan dunia teater.  Program ini merupakan hasil kerjasama antara Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta dan Museum Kesejarahan Jakarta.

Program atraksi teatrikal ini diikuti oleh 10 grup teater diantaranya; KS Mantaka, Sikumbang Tenabang, Sindikat Aktor Jakarta, Teater Alamat, Teater Amatir Ujan, Teater Asa, Teater eL Na’ma, Teater Ghanta, Teater Lorong Junior, dan Tema Gunadarma. Secara umum, 10 grup teater ini berusaha menyodorkan, cara kita melihat, memaknai dan merefleksikan sejarah kita melalui panggung.

KS Mantaka, sebuah grup teater jakarta timur menyodorkan penampilan dengan judul “Sang Pangeran”, dimana bercerita tentang bagaimana seorang pangeran yang hadir di tengah ketertindasan rakyat dalam melawan penjajah. Kehadiran pangeran sebagai representasi masyarakat yang tak mendapat keadilan, juga berusaha menunjukan bahwa ada peristiwa pembelaan yang tegas terhadap masyarakat atas hak-hak mereka pada sumber daya dan hidup.

“Sang Pangeran” bercerita tentang seorang pangeran Yogyakarta yang melawan penjajah Belanda yang menindas rakyat Jawa dengan berbagai muslihat dan aturan. Sang Pangeran kemudian ditangkap oleh pasukan Belanda, juga dengan cara ditipu melalui perjanjian dengan Belanda. Ia kemudian diasingkan sampai ujung usianya.”

Disutradarai oleh Ekatiwi Catur Putranto, pertunjukan ini didorong sampai pada level membongkar kembali sejarah yang selama ini hanya monoton pada cara kita membaca teks. Sejarah dilihat kembali tidak hanya sebagai perlawanan semata, melainkan pengorbanan yang berujung pada pembebasan masyarakat.

Di lain sisi, Sikumbang Tenabang dari jakarta selatan, berusaha mundur lebih jauh dari apa yang dipentaskan oleh KS Mantaka. Mengusung cerita berjudul, Sa’beni pejuang sejati” rekonstruksi sejarah diangkat ke dalam persoalan lebih besar dengan tokoh yang lebih dekat sebagai representasi masyarakat betawi. 

“Kisah ini terjadi di tahun 1886, di Batavia. tentang pemuda bernama Sa’beni bin Channam, Ia memiliki kemampuan silat yang dapat mengalahkan jago kampung hanya dengan beberapa jurus saja. Berkat kemampuan dan keberaniannya Ia dan murid – muridnya menyerang Pos Kompeni Belanda dan mengusir mereka dari kampungnya di Kebon Pala.”

Sa’beni dipandang sebagai tokoh yang jago silat dan memperjuangkan kampungnya yang diduduki kompeni Belanda. Satu-satunya negara yang dipandang sebagai antagonis dalam cerita ini, berusaha menunjukan pada kita bahwa, selalu ada perlawanan yang dimungkinan ketika pemanfaatan ide cerita ditujukan untuk merawat pembebasan. 

Disutradarai oleh Jumala Ridwan, pertunjukan ini menghadirkan sejarah dalam versi yang jauh lebih bisa diterima sebagai sebuah perjalanan mempertahankan tanah dan hidup. Di samping itu, silat dihadiri justru sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat indonesia yang selama ini sering dilupakan untuk dibicarakan.

Sindikat Aktor Jakarta hadir dengan Ilyas Husein ke atas panggung. Ilyas Husein sendiri merupakan nama samaran dari Tan Malaka ketika tiba di Jakarta. Dengan identitas ini ia bekerja sebagai kerani di pertambangan Jepang di Bayah, Banten. Dalam pengamatannya, pertambangan itu mempekerjakan tenaga romusha dengan sangat eksploitatif. Ia mencatat bahwa ada sekitar 500 romusha tewas tiap bulannya, dan makamnya mencapai 38 hektar. Ketika Sukarno dan Hatta tiba di Bayah pada 1943, mereka menyatakan bahwa Indonesia akan merdeka bersama Jepang. Tan Malaka yang masih menyamar menolak itu dan menyela pidatonya, dengan anggapan kemerdekaan Indonesia seharusnya bukan seperti hadiah tetapi hasil perjuangan.

Dari refleksi pada perjalanan Tan Malaka inilah, Join Bayuwinanda sebagai Sutradara sekaligus aktor dalam pertunjukan tersebut, berusaha mengajak penonton mengunjungi sejarah penyamaran, kekerasan dan penindasan yang dialami oleh masyarakat pribumi selama masa hindia belanda. 

tidak bisa dipungkiri bahwa cara Join Bayuwinanda mendialogkan problem sejarah, jauh lebih menarik dan mendalam untuk diamati lebih lanjut. Rasanya hampir seperti sebuah catatan penting dalam salah satu bagian buku Sejarah Dunia Bagi Pembaca Muda; 

“Bertitik tolak dari keadaan zamannya, Marx mengatakan bahwa sesungguhnya tidak ada lagi penenun, pembuat sepatu, atau juru besi. Pekerja tidak perlu memahami yang dihasilkan oleh mesin yang dioperasikannya dengan menekan tuas dua ribu kali sehari. Bahkan pemilik pabrik tidak perlu ahli di bidang produksinya, sebab semuanya dikerjakan dengan mesin. Marx menyimpulkan tidak ada lagi lapisan masyarakat yang dibedakan menurut pekerjaan masing-masing, melainkan pada dasarnya hanya ada dua jenis atau kelas manusia yang berpunya dan yang tidak berpunya, atau menurut istilah Marx: kaum kapitalis dan kaum proletar.”(Ernst H. Gombrich, hal. 321)

Di samping pertunjukan tentang Ilyas Husein, grup teater Alamat hadir dengan pertunjukan berjudul, “Perjalanan Dalam Sketsa Peradaban.” Pertunjukan ini berusaha menampilkan keterasingan manusia di dalam perjalanan sejarah. Kesulitan bagi para veteran menyaksikan kehidupan yang telah berubah, membuat mereka kehilangan diri mereka sendiri, sekaligus kehilangan dunia yang dulu mereka perjuangkan. Konsekuensi dari sejarah telah mengubah banyak hal, termasuk hidup individu manusia.

“Perjalanan dalam sketsa peradaban Menceritakan tentang sebuah keluarga yang terdiri dari nenek, bapak dan seorang anak, Nenek dan Bapak adalah mantan pejuang, Mereka sangat bingung dengan keadaan saat ini dan merasa gagap pada keadaan dan realitas yang terjadi kini. Baik keadaan fisik dan lingkungan juga tatacara dan budaya juga bahasa.”

Pertunjukan ini sedang mempertontonkan pada kita betapa besar sebuah perubahan yang dihasilkan oleh perang. Perubahan ini tidak hanya bicara tentang peradaban yang kita hidupi sekarang. Perubahan ini juga bicara tentang, ke arah mana dan dengan cara apa peradaban akan diterjemahkan lebih lanjut dalam pengalaman hidup manusia. Hubungan antara peristiwa, waktu dan manusia memang telah tenggelam bersama ke dalam pengalaman yang berubah-ubah setiap persinggahan.

Di lain sisi, Teater Amatir Ujan justru hadir dengan bahasa sebagai sejarah. Dikatakan demikian karena melalui judul, “Sutardji Calzoum Bachri”, Dediesputra Siregar menyegarkan penglihatan kita dengan apa yang ia tawarkan sebagai gerak dan bunyi. Di dalam bahasa yang mengandung sedikit sekali unsur menggerakan, di tengah dunia yang kelebihan bahasa, Amatir Ujan hadir dengan tawaran yang mesti dipikirkan oleh kita lebih lanjut. 

“Performing lecture ini tentang musikalitas puisi dan puisi konkret Sutardji Calzoum Bachri, seorang penyair sufi yang berjulukan Presiden Penyair. Dalam puisi-puisinya Sutardji melakukan pembebasaan kata dari beban pengertian. Kemudian menjadi bunyi-bunyi berima dan irama seperti mantra, serta bentuk puisi yang berontak dari konvensi bahasa. Beberapa karya Sutardji bertipografi performatif akan dihidupkan menjadi bunyi dan irama yang unik. Juga menyangkut kata yang harus ‘digerakkan.’”

Upaya menyodorkan bahasa sebagai gerak dan bunyi melalui puisi Sutardji, sebetulnya usaha yang diberikan oleh pertunjukan ini adalah bahwa, manusia mengakses dunia mereka hanya dengan bahasa. Dan bahasa bisa memberikan arti yang sangat beragam, selama bahasa tidak dimengerti sebagai bahasa percakapan yang menggerakan dan menenangkan para pendengarnya. Di samping bahwa bahasa memang memiliki sifat yang sangat terbatas, dan bisa memuncul berbagai interpretasi yang melekat pada ruang-waktu.

Sejarah lain yang berusaha ditawarkan oleh Teater Asa Jakarta, hadir melalui judul, “Nanti Janji (Kisah Perjanjian Padrao). Kacamata sejarah antara Kesultanan Demak dan Kerajaan Sunda, yang melibatkan portugis di dalamnya, menjadi tawaran menarik yang sangat penting untuk dilihat. Tidak dalam rangka menilai bahwa perang pun bisa terjadi selama periodesasi itu, melainkan bahwa, peran dari konflik tak pernah memandang suku-bangsa atau ide-ide persatuan yang pada waktu itu belum sama sekali terdengar di level Nusantara.

“Pertunjukan ini mengangkat kisah berdirinya Jakarta pada 1527. Dilatari ancaman serangan dari Kesultanan Demak, Raja Sunda membuat perjanjian dengan Portugis. Tetapi dikarenakan adanya masalah di Goa/India maka pasukan bantuan Portugis tidak dapat datang ke Jawa, hal ini menyebabkan tentara Kesultanan Demak berhasil menduduki Sunda Kelapa dan membuat Portugis terusir sepenuhnya dari Sunda Kelapa.”

Disutradarai oleh Simon Karsimin, pertunjukan teater ini menjadi pembacaan sejarah dengan cara yang jauh lebih menarik, karena melibatkan panggung, pemeran dan perdebatan di sana. Di sisi lain bahwa adanya pertentangan antara menagih janji dan menerjemahkan periodesasi persaingan antara kerajaan, merupakan dua bagian yang sulit untuk dipisahkan dalam rentang waktu terbentuknya sebuah bangsa.

Kehadiran peran perempuan di dalam sejarah tentu saja tidak dapat diabaikan begitu saja. Di indonesia, ada banyak sekali perempuan yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu, baik yang tercatat dalam buku sejarah maupun yang lenyap begitu saja dan dilupakan oleh generasi selanjutnya. Namun satu yang bisa ditawarkan sebagai bagian dari “Sejarah yang hilang” adalah “Si Mirah”

“Pertunjukan ini mengangkat kisah si Mirah, Seorang perempuan Betawi asli yang sangat pandai dalam bersilat dan menggunakan kemampuannya untuk mengusir penjahat di kampungnya, Hal itu karena Mirah selalu ikut berlatih bersama Bapaknya dan teman teman seperguruannya, Bersama teman teman perempuan sekampungnya Mirah turut mengusir Belanda dari Indonesia.”

Sutradara Uliel eL Na’ma berusaha menyodorkan sesuatu yang dapat kita sebut sebagai, “Lebih dari sekedar pertunjukan.” Dikatakan demikian karena tawaran yang dihasilkan di sini tidak hanya bicara tentang sejarah semata, melainkan kontribusi perempuan dalam periodisasi sejarah, sekaligus “Mengembalikan yang hilang” ke dalam percakapan bersama tentang perempuan, perang dan sejarah.

Teater Ghanta dari Jakarta Selatan hadir dengan pertunjukan yang sama sekali berbeda. Mengangkat tema sejarah melalui Judul, “Mendengar (Kembali) Takdir”, Pertunjukan ini berusaha menyodorkan perspektif Post-kolonial yang pernah ditawarkan oleh berbagai kajian ilmu hari ini. Salah satu yang terkenal pernah menawarkan ini adalah Gayatri Spivak dari India. 

“Pertunjukan “Mendengar (Kembali) Takdir” merupakan pertunjukan berbasis arsip audio yang membuka pandangan kritis atas sejarah. Melalui ceramahnya STA melihat kebudayaan sebagai alat ukur dalam memahami perkembangan peradaban manusia. Terutama perihal kaitan penjajahan, ilmu pengetahuan, kemerdekaan dan bahkan nasionalisme yang kita bayangkan sebagai sebuah bangsa. Pertunjukan ini ingin mengajak penonton memasuki pertanyaan atas relevansi gagasan poskolonial yang Takdir tawarkan dalam perspektif hari ini.”

Pertunjukan ini berusaha menggali kembali percakapan tentang apakah benar sejarah perlawanan kita adalah pada penjajah, atau justru perlawanan kita adalah perlawan pada dominasi wacana ilmu pengetahuan. Dua perspektif ini didorong dalam pertunjukan tersebut, hingga tampak seperti perdebatan “On Human Nature” antara Michel Foucault dan Noam Chomsky. 

Teater Lorong Junior datang dengan pertunjukan berjudul, “Hilang Di Museum Sejarah”. Melalui pertunjukan ini, kelompok teater lorong berusaha mempertanyakan kembali sejarah kota tua melalui percakapan sekelompok anak-anak. Pertumbuhan anak-anak seringkali memang dipenuhi dengan pertanyaan, namun hanya sedikit yang berusaha mengajukan pertanyaan tentang sejarah. Tentu saja mereka tak salah. Bagaimanapun, orang dewasalah yang mesti memikul lebih banyak tanggung jawab tentang pengetahuan anak-anak.

Kritik melalui drama musikal yang ditawarkan justru sebagai pengingat tentang pentingnya sejarah bagi generasi muda bangsa. Melalui drama itu pulalah kritik ini dilayangkan sebagai refleksi. Disutradarai oleh Djaelani Manock, Teater Lorong Junior datang dengan gugatan dari mulut para remaja, kepada penonton dewasa yang hadir di dalam pertunjukan tersebut.

Sedang teater Tema Gunadarma, justru hadir dengan judul pertunjukan, “Pelarian”. Melalui pertunjukan ini, Tema Gunadarma mengangkat sisi lain penjara yang dijadikan latar pertunjukan, berusaha menerjemahkan kekejaman Belanda pada bangsa Pribumi waktu itu. Di atas panggung itu, dalam pertunjukan itu, Tema Gunadarma mengajak kita mengunjungi para tahanan dengan segala peristiwa hidup mereka, berbagai penderitaan yang mereka alami dan setiap individu yang selalu ingin berjuang dan merdeka.

“Penjara bawah tanah yang diisi oleh para budak yang menjadi tahanan menjadi saksi tentang betapa kejamnya Belanda memperlakukan pribumi kala itu. Kehidupan yang dipenuhi oleh rasa pasrah, putus asa dan ketakutan menjadi teman abadi mereka sampai ketika seorang tahanan baru masuk, dan istri tahanan itu sedang tidak baik-baik saja.”

Disutradarai oleh Ucog Lubis, berusaha menggambarkan bahwa dibalik perbudakan, selalu ada lelaki yang putus asa, perempuan yang pasrah dan anak-anak yang ketakutan. Di samping itu, terkadang, perlawanan terbaik adalah dengan cara tidak melakukan apapun. Perlawanan itu dilakukan dengan keheningan yang hanya ribut di dalam dada manusia yang tertindas.

Pertunjukan-pertunjukan yang berusaha ditampilkan dalam atraksi teatrikal pada tahun 2022 ini menjadi penting untuk dipercakapkan kembali, karena perannya menerjemahkan sejarah. Peran teater ternyata tidak hanya hadir sebagai pertunjukan yang menghibur, melainkan teater hadir sebagai upaya untuk mengembalikan yang ‘pergi’ dari tanah ibu.